Ini Hanya Kisah Saya dan Malang Tempo Dulu
Malang Tempo Dulu atau biasa
disingkat MTD adalah festival tahunan yang diadakan di kota Malang untuk
memperingati ulang tahun kota Malang. Bertempat di Jalan Ijen, kawasan
perumahan peninggalan Belanda, festival ini mampu menyedot ribuan warga dalam
maupun luar kota Malang. Hari ini, Jum’at tanggal 25 Mei 2012, adalah hari
kedua festival diadakan. Saya diajak teman-teman DIMPA untuk ke festival ini.
Dan kisah pun dimulai….
Ribuan motor terpakir di beberapa
titik. Harga parkir yang diberikan tidak tanggung-tanggung, Rp 3.000,00 per
motor. Bayangkan berapa duit yang dihasilkan selama festival berlangsung dengan
ribuan kendaraan bermotor yang melimpah ruah memadati parkiran. Saat saya dan
seorang Mbak Has menunggu anak-anak lain di parkiran, dia menyeletuk, “Wah,
harga parkirnya saja Rp 3.000,00, bisa jadi duit yang didapat malah lebih
tinggi dari yang (jualan) di dalam. Bisa puluhan juta.” Saya menimpali, “Ya,
bisa jadi. Apalagi MTD bukan hanya sehari, tapi berhari-hari.” Betapa
kesempatan bisa sangat dimanfaatkan oleh para manusia.
Saat kami masuk, melewati pintu
masuk serupa gapura, mata saya menyapu sekeliling. Kebiasaan saya jika saya
berada di kerumunan. Memperhatikan hal-hal yang, walau sekecil apapun,
seringkali diabaikan orang. Beberapa pengunjung tampak memakai pakaian ala
tempo dulu, pakaian pribumi saat masa penjajahan. Beberapa memakai pakaian ala
bangsa kolonial, lengkap dengan topi dan senjata. Ada juga yang memakai sepeda
ontel, beriringan sambil membunyikan bel sepeda yang berbunyi “kring kriing”,
memaksa pengunjung di hadapannya untuk menyingkir. Namun, yang lebih menarik
perhatian saya adalah beberapa pengunjung yang mencampuradukkan gaya
berpakaiannya. Saya sendiri tidak mengikuti konsep festival ini. Saya memakai
jumper, celana jeans belel, dan memakai ransel. Teman-teman saya pun (kami
berenam, saya, Mbak Has, Mas Wiwid, Eko Febri, dan Edi) tak jauh beda. Eko
memakai kemeja batik, celana selutut, sepatu trekking, dan bertopi kupluk.
Bayangkan saja. Saya sendiri menganggapnya sungguh aneh. Febri bahkan memakai
kemeja bermotif pantai, lengkap dengan pohon kelapanya (saya bilang itu baju
Hawaii), memakai helm ORAD, dan ransel yang isinya menggelembung. Eksentrik.
Pemandangan ini hanya ada di kelompok kami.
Pemandangan lainnya membuat mata
saya melotot. Betapa tidak, gadis-gadis dengan santainya memakai atasan jaman
dulu dan bawahan masa kini, hot pants (celana kekurangan bahan jauh di atas
lutut), dan high heels bertali. “Nggak dingin apa?” pikir saya sambil berkerut
kening. Saat kami nongkrong di kedai Ria Jenaka, pemandangan ini menjadi bahan
candaan di antara kami. Seperti biasanya, mata kami menyapu segala arah. Cuci
mata. Yang laki-laki melihat-lihat perempuan, yang perempuan melihat-lihat
laki-laki. “Coba pakaianmu kayak gitu tuh”, kata Mas Wid sambil matanya
mengarah ke belakang saya. Saya berbalik. Wooaa, mengerjap-ngerjap beberapa
detik lamanya, lalu berbalik lagi. Perempuan itu duduk membelakangi saya,
memakai atasan batik dengan belahan punggung lebar. Kontras dengan saya. Jelas.
“Ni, kalo kamu pake kayak gitu gimana ya?, kata Mbak Has sambil tertawa-tawa.
“Wah, pulang-pulang langsung minta dikerokin aku. Hahaha.” Sejenak terlintas di
kepala saya tentang berpenampilan seperti itu. Amit-amit.
Banyak hal yang membuat saya
tercengang di sini, di kerumunan ini. Disini saya melihat, seorang pengunjung
laki-laki dengan santainya, sambil merangkul pasangannya, memotret seorang
bapak pengemis. Ya, hanya memotretnya. Sambil berlalu tanpa bersedekah sedikitpun.
Memotret tepat di hadapan bapak itu. Miris hati saya. Festival ini, memang,
selain mengundang banyak pengunjung, juga beragam pengemis. Peristiwa ini tak
bisa lepas dari ingatan saya sampai detik ini.
Melewati kontes band lawas,
penyanyinya seorang bapak-bapak. Lagu yang dinyanyikan adalah “Bunga di Tepi
Jalan”. Aransemen yang bagus sekali. Enak di telinga. Yang tidak mengeenakkan
malah penciuman saya. Tempat ini bau. Bau makanan bercampur bau keringat
orang-orang.
Saat nongkrong di Ria Jenaka
tadi, saya melihat keluar dan mendapati sepasang pengemis. Mungkin ibu dan
anak. Anaknya seumuran remaja, memegang gelas Coca Cola, sedang meminta-minta
pada seorang bapak penjual jagung. Degg! Sekali lagi membuat miris. Jualan
bapak itu bahkan masih banyak. Entah apa yang ada di pikiran pengemis itu.
Jalan lagi, melewati counter Bung Karno. Ramai sekali di
dalam. Saya masuk dan melihat seorang anak lelaki kecil memakai pakaian adat
Jawa sedang dipotret bapaknya. Ibunya menjadi penata gaya, mengatur-atur gaya
yang cocok untuk anaknya. Bocah itu, dengan tampang polong (polos bengong),
bergaya sesuka hatinya. Wajah bengong ogah-ogahan, tangan bersidekap di dada.
Belum juga bapaknya berkata satu, dua, tiga sampai selesai, dia mengangkat
tangannya lagi. Kali ini tangannya berpangku dagu, mirip gaya chibi-chibi ala Cherrybelle. Saya
tertawa sambil lalu. Ternyata ibunya melihat, dengan kesal berkata pada
anaknya, “Tuh, masnya ketawa lihat kamu. Ayo, yang bener!” Waduh, untuk
kesekian dan kesekian kalinya saya dipanggil mas. Se-mas-mas itukah saya?
Amit-amit sekali lagi. Saya tidak tahan di ruangan ini. Penuh sesak dengan
orang-orang yang berfoto-foto ria. Sekilas saya membaca tulisan di samping
foto-foto Bung Karno, tapi tidak bisa memahami. Tidak di keramaian ini. Saya
keluar, ada Ms Wid. Saya menoleh, melihat counter itu di belakang saya. Saya
ragu, apa orang-orang di dalam itu memahami tempat yang mereka masuki. Entah,
ini hanya pikiran saya saja.
Banyak pencari perhatian disini.
Laki-laki maupun perempuan melepaskan ekspresinya. Saya sedang menempatkan diri
saya sebagai penonton. Melihat, mengamati, menganalisis, dan menarik
kesimpulan. Orang-orang ini tontonan yang menarik. Kalaupun ada yang tidak
menarik, saya cukup membuang muka, tidak perlu melihat. Betapa tempat ini penuh
sesak. Semuanya terlihat jelas. Ketimpangan sosial, konsumtif-nya masyarakat,
vulgarisme, dan hedonisme. Canda tawa, teriakan, tarian, nyanyian, obrolan,
rangkulan, semuanya. Inilah masyarakat. Inilah kita.
Pintu keluar serupa gapura mulai
terlihat jauh di depan. Kantuk melanda saya sejak tadi. Lelah rasanya badan
ini. Beberapa orang di depan saya terlihat merenggangkan badan dengan cara
mengangkat kedua lengan tinggi-tinggi di atas kepala. Saya melakukan hal serupa
sambil menguap lebar-lebar. Saatnya pulang.