Selasa, 12 Juni 2012

Selasa, 29 Mei 2012 @07.19 am

Sekali lagi berada di depan kelas. Kali ini saya sendirian. Memang selalu seperti ini. Ritual kembali terulang, menunggu dosen tercinta. Aha, anak-anak yang duduk di bangku berhura. Entah apa yang terjadi di sana. Saya tidak mau menoleh.
Kaki saya kram karena sedari tadi tidak mengubah posisi duduk. Dosen lama sekali. Mudah-mudahan beliau tidak jadi masuk mengajar, biar saya bisa tidur di sekret. Semalam saya tidak tidur sama sekali. Sama seperti hari-hari kemarin. Penyakit lama saya kambuh kembali.
Kaki saya masih kram. Tapi saya tetap bertahan dengan kondisi yang menggelikan ini. Terdengar seseorang bersuara. Suaranya mirip mas Irul.
Hampir setengah jam sudah dosen belum kelihatan. Jangan bilang kalu beliau tidak bisa masuk lagi. Padahal saya suka mata kuliah ini. Hanya saja saya salah mengambil jam pagi. Tapi tetap saja, semuanya sama saja bagi saya. Saya masih sama seperti dulu, anak pemalas yang susah sekali untuk rajin. Rugi sekali untuk saya. Dan saya masih tetap malas.
Klotak klotak klotak. Lalu lalang cewek-cewek di depan saya. Sepatunya beragam. Kebanyakan sangat tidak cocok dengan pakaian ataupun tampang mereka. Hahaha. Sedikit sarkasme tak apalah untuk hari ini. Saya sudah mulai bosan. Angin yang bertiup di atas kepala saya membuat bulu-bulu di lengan saya berdiri. Dingin.
Rambut saya bisa dijinakkan pagi ini. Syukurlah, saya tidak perlu berlama-lama hanya untuk berdandan. Semakin dingin sekarang. Bulu-bulu di lengan saya semakin tegak. Saya belum juga beranjak. Disini nyaman. Tak ada orang yang bisa menghalangi saya. Saya bebas menggerayangi tuts laptop.
Suara angsa di danau kampus terdengar nyaring. Ngoek! Ngoekk! Entah yang mana yang bersuara karena saya hanya mendengar saja, tanpa melihat.
Saya merubah posisi duduk. Kaki saya mati rasa. Sudah lama saya tidak merasakan ini. Dingin merambati tulang kaki kiri, mulai dari telapak hingga pangkal paha. Sekarang kaki saya mulai terasa aneh. Perut saya mual karenanya.
Aha, di dekat tangga sudah sepi. Itu yang saya tunggu dari tadi. Sepertinya saya bisa turun sekarang. Ke sekretariat untuk tidur. Tidur pagi.
Ini Hanya Kisah Saya dan Malang Tempo Dulu

Malang Tempo Dulu atau biasa disingkat MTD adalah festival tahunan yang diadakan di kota Malang untuk memperingati ulang tahun kota Malang. Bertempat di Jalan Ijen, kawasan perumahan peninggalan Belanda, festival ini mampu menyedot ribuan warga dalam maupun luar kota Malang. Hari ini, Jum’at tanggal 25 Mei 2012, adalah hari kedua festival diadakan. Saya diajak teman-teman DIMPA untuk ke festival ini. Dan kisah pun dimulai….
Ribuan motor terpakir di beberapa titik. Harga parkir yang diberikan tidak tanggung-tanggung, Rp 3.000,00 per motor. Bayangkan berapa duit yang dihasilkan selama festival berlangsung dengan ribuan kendaraan bermotor yang melimpah ruah memadati parkiran. Saat saya dan seorang Mbak Has menunggu anak-anak lain di parkiran, dia menyeletuk, “Wah, harga parkirnya saja Rp 3.000,00, bisa jadi duit yang didapat malah lebih tinggi dari yang (jualan) di dalam. Bisa puluhan juta.” Saya menimpali, “Ya, bisa jadi. Apalagi MTD bukan hanya sehari, tapi berhari-hari.” Betapa kesempatan bisa sangat dimanfaatkan oleh para manusia.
Saat kami masuk, melewati pintu masuk serupa gapura, mata saya menyapu sekeliling. Kebiasaan saya jika saya berada di kerumunan. Memperhatikan hal-hal yang, walau sekecil apapun, seringkali diabaikan orang. Beberapa pengunjung tampak memakai pakaian ala tempo dulu, pakaian pribumi saat masa penjajahan. Beberapa memakai pakaian ala bangsa kolonial, lengkap dengan topi dan senjata. Ada juga yang memakai sepeda ontel, beriringan sambil membunyikan bel sepeda yang berbunyi “kring kriing”, memaksa pengunjung di hadapannya untuk menyingkir. Namun, yang lebih menarik perhatian saya adalah beberapa pengunjung yang mencampuradukkan gaya berpakaiannya. Saya sendiri tidak mengikuti konsep festival ini. Saya memakai jumper, celana jeans belel, dan memakai ransel. Teman-teman saya pun (kami berenam, saya, Mbak Has, Mas Wiwid, Eko Febri, dan Edi) tak jauh beda. Eko memakai kemeja batik, celana selutut, sepatu trekking, dan bertopi kupluk. Bayangkan saja. Saya sendiri menganggapnya sungguh aneh. Febri bahkan memakai kemeja bermotif pantai, lengkap dengan pohon kelapanya (saya bilang itu baju Hawaii), memakai helm ORAD, dan ransel yang isinya menggelembung. Eksentrik. Pemandangan ini hanya ada di kelompok kami.
Pemandangan lainnya membuat mata saya melotot. Betapa tidak, gadis-gadis dengan santainya memakai atasan jaman dulu dan bawahan masa kini, hot pants (celana kekurangan bahan jauh di atas lutut), dan high heels bertali. “Nggak dingin apa?” pikir saya sambil berkerut kening. Saat kami nongkrong di kedai Ria Jenaka, pemandangan ini menjadi bahan candaan di antara kami. Seperti biasanya, mata kami menyapu segala arah. Cuci mata. Yang laki-laki melihat-lihat perempuan, yang perempuan melihat-lihat laki-laki. “Coba pakaianmu kayak gitu tuh”, kata Mas Wid sambil matanya mengarah ke belakang saya. Saya berbalik. Wooaa, mengerjap-ngerjap beberapa detik lamanya, lalu berbalik lagi. Perempuan itu duduk membelakangi saya, memakai atasan batik dengan belahan punggung lebar. Kontras dengan saya. Jelas. “Ni, kalo kamu pake kayak gitu gimana ya?, kata Mbak Has sambil tertawa-tawa. “Wah, pulang-pulang langsung minta dikerokin aku. Hahaha.” Sejenak terlintas di kepala saya tentang berpenampilan seperti itu. Amit-amit.
Banyak hal yang membuat saya tercengang di sini, di kerumunan ini. Disini saya melihat, seorang pengunjung laki-laki dengan santainya, sambil merangkul pasangannya, memotret seorang bapak pengemis. Ya, hanya memotretnya. Sambil berlalu tanpa bersedekah sedikitpun. Memotret tepat di hadapan bapak itu. Miris hati saya. Festival ini, memang, selain mengundang banyak pengunjung, juga beragam pengemis. Peristiwa ini tak bisa lepas dari ingatan saya sampai detik ini.
Melewati kontes band lawas, penyanyinya seorang bapak-bapak. Lagu yang dinyanyikan adalah “Bunga di Tepi Jalan”. Aransemen yang bagus sekali. Enak di telinga. Yang tidak mengeenakkan malah penciuman saya. Tempat ini bau. Bau makanan bercampur bau keringat orang-orang.
Saat nongkrong di Ria Jenaka tadi, saya melihat keluar dan mendapati sepasang pengemis. Mungkin ibu dan anak. Anaknya seumuran remaja, memegang gelas Coca Cola, sedang meminta-minta pada seorang bapak penjual jagung. Degg! Sekali lagi membuat miris. Jualan bapak itu bahkan masih banyak. Entah apa yang ada di pikiran pengemis itu.
Jalan lagi, melewati counter Bung Karno. Ramai sekali di dalam. Saya masuk dan melihat seorang anak lelaki kecil memakai pakaian adat Jawa sedang dipotret bapaknya. Ibunya menjadi penata gaya, mengatur-atur gaya yang cocok untuk anaknya. Bocah itu, dengan tampang polong (polos bengong), bergaya sesuka hatinya. Wajah bengong ogah-ogahan, tangan bersidekap di dada. Belum juga bapaknya berkata satu, dua, tiga sampai selesai, dia mengangkat tangannya lagi. Kali ini tangannya berpangku dagu, mirip gaya chibi-chibi ala Cherrybelle. Saya tertawa sambil lalu. Ternyata ibunya melihat, dengan kesal berkata pada anaknya, “Tuh, masnya ketawa lihat kamu. Ayo, yang bener!” Waduh, untuk kesekian dan kesekian kalinya saya dipanggil mas. Se-mas-mas itukah saya? Amit-amit sekali lagi. Saya tidak tahan di ruangan ini. Penuh sesak dengan orang-orang yang berfoto-foto ria. Sekilas saya membaca tulisan di samping foto-foto Bung Karno, tapi tidak bisa memahami. Tidak di keramaian ini. Saya keluar, ada Ms Wid. Saya menoleh, melihat counter itu di belakang saya. Saya ragu, apa orang-orang di dalam itu memahami tempat yang mereka masuki. Entah, ini hanya pikiran saya saja.
Banyak pencari perhatian disini. Laki-laki maupun perempuan melepaskan ekspresinya. Saya sedang menempatkan diri saya sebagai penonton. Melihat, mengamati, menganalisis, dan menarik kesimpulan. Orang-orang ini tontonan yang menarik. Kalaupun ada yang tidak menarik, saya cukup membuang muka, tidak perlu melihat. Betapa tempat ini penuh sesak. Semuanya terlihat jelas. Ketimpangan sosial, konsumtif-nya masyarakat, vulgarisme, dan hedonisme. Canda tawa, teriakan, tarian, nyanyian, obrolan, rangkulan, semuanya. Inilah masyarakat. Inilah kita.
Pintu keluar serupa gapura mulai terlihat jauh di depan. Kantuk melanda saya sejak tadi. Lelah rasanya badan ini. Beberapa orang di depan saya terlihat merenggangkan badan dengan cara mengangkat kedua lengan tinggi-tinggi di atas kepala. Saya melakukan hal serupa sambil menguap lebar-lebar. Saatnya pulang.

Sebuah Pelajaran dari Perjalanan

Sebagai seorang saya, menikmati alam merupakan anugerah terbesar yang bisa saya lakukan tanpa perlu memikirkan hal-hal lain. Gunung, khususnya, memberikan semua yang saya butuhkan untuk itu. Berbagai macam tulisan yang telah saya baca mengenai asyiknya kegiatan yang satu ini. Tapi, tentu saja, sangat beda terasa jika saya alami sendiri.
Awalnya, pendakian pertama saya di Gunung Arjuna terasa hanya main-main. Saya tidak begitu menikmati perjalanan yang saya lakukan. Di samping karena itu merupakan pengalaman pertama saya bepergian jauh dengan orang-orang yang baru sebentar saya kenal, saya juga merasa kesal sepanjang perjalanan karena hujan deras dan kabut yang seringkali menghalangi penglihatan saya untuk menikmati pemandangan sekitar.
Pendakian yang benar-benar bisa saya nikmati adalah saat melakukan simulasi pendakian di Gunung Panderman. Hari itu (Minggu, 18 Maret 2012), cuaca cerah walau saat pemberangkatan langit mendung dan kadang kala gerimis turun. Beda rasanya melakukan pendakian seorang diri. Benar-benar nikmat. Sepanjang perjalanan yang ada dalam pikiran saya hanyalah mengenai filosofi mendaki gunung. Selama ini tidak pernah saya pikirkan makna mendaki gunung itu. Sepanjang jalur, saya tersadar. Karena waktu sangat ditentukan dalam pendakian kali itu, otomatis saya harus mempercepat langkah, bahkan sedikit berlari. Saat menemukan jalur menanjak, saya memelankan langkah, mengatur napas dengan baik dan benar, dan sebisa mungkin mengatur langkah agar tidak terjatuh. Jika jalurnya landai, saya melangkah lebar-lebar dan cepat, beristirahat sedikit agar waktu tidak terbuang percuma. Jalur menurun saya lewati dengan hati-hati, juga agar tidak jatuh. Walaupun sekali, saya jatuh dan melukai lutut. Selanjutnya, saya lebih hati-hati lagi walau langkah sedikit terhambat.
Selama naik dan turun gunung itu, satu hal saya pelajari. Inilah hidup. Sulit mudahnya perjalanan hidup, bisa kita lalui jika kita melaluinya dengan benar. Jalan kesuksesan yang kita daki memang melelahkan. Namun, waktu yang kita punya hanya sedikit. Kita boleh beristirahat sebentar kalau kita lelah, tapi kita harus maju terus. Jalan yang lurus dan membuat kita nyaman jangan sampai melenakan kita. Saat kita jatuh, memang sakit. Tapi, harus, kita tidak boleh berhenti. Bersamaan dengan waktu, rasa sakitnya akan hilang. Dan kita harus terus maju.
Itulah yang saya dapat di hari itu. Sebuah pelajaran dari perjalanan yang benar-benar berharga. Alam telah memberikan yang terbaik untuk saya. Dan saya, berharap dapat melakukan sebaliknya dengan ikhlas.


Selasa, 20 Maret 2012

Puisi Sekali Lagi

30.03.2010

Makin dewasa, seperti makin tak punya rasa
Hari-hari terasa hampa, sama sekali tanpa asa
Kata-kata yang terucap, meluncur, lalu menguap
Tanpa pikiran ingin disingkirkan
Gesekan pensil pada kertas memang pantas untuk hati yang keras
Sekali lagi aku muak, pikirkan harapan yang tak terkuak
Wahai maikat, mengapa kurasa diikat?
Tanpa cahaya, gelap pekat, ingin teriak leher tercekat
Aku rasa mampu, memungut asa tersapu
Dengan wajah kaku, terpaku dengarkan lagu
Apa ini? Riangkah kini?
Coba tahan dalam pelukan angin, dingin, namun selalu ingin..

Sabtu, 22 Oktober 2011

Judul: Nikmatnya Masa Kecil

Foto diambil waktu keponakan saya sedang belajar dengan temannya. Yang kiri Lala dan yang kanan Putri, keponakan saya. Foto diambil oleh adik saya, Far.Nih waktu suasana Idul Fitri, karpet yang besar dibentang di ruang tengah, yang dijadikan kesempatan buat Putri dan teman-temannya untuk bermain sambil belajar. Hahaha..nikmat sekali jadi anak kecil :)