Selasa, 12 Juni 2012

Ini Hanya Kisah Saya dan Malang Tempo Dulu

Malang Tempo Dulu atau biasa disingkat MTD adalah festival tahunan yang diadakan di kota Malang untuk memperingati ulang tahun kota Malang. Bertempat di Jalan Ijen, kawasan perumahan peninggalan Belanda, festival ini mampu menyedot ribuan warga dalam maupun luar kota Malang. Hari ini, Jum’at tanggal 25 Mei 2012, adalah hari kedua festival diadakan. Saya diajak teman-teman DIMPA untuk ke festival ini. Dan kisah pun dimulai….
Ribuan motor terpakir di beberapa titik. Harga parkir yang diberikan tidak tanggung-tanggung, Rp 3.000,00 per motor. Bayangkan berapa duit yang dihasilkan selama festival berlangsung dengan ribuan kendaraan bermotor yang melimpah ruah memadati parkiran. Saat saya dan seorang Mbak Has menunggu anak-anak lain di parkiran, dia menyeletuk, “Wah, harga parkirnya saja Rp 3.000,00, bisa jadi duit yang didapat malah lebih tinggi dari yang (jualan) di dalam. Bisa puluhan juta.” Saya menimpali, “Ya, bisa jadi. Apalagi MTD bukan hanya sehari, tapi berhari-hari.” Betapa kesempatan bisa sangat dimanfaatkan oleh para manusia.
Saat kami masuk, melewati pintu masuk serupa gapura, mata saya menyapu sekeliling. Kebiasaan saya jika saya berada di kerumunan. Memperhatikan hal-hal yang, walau sekecil apapun, seringkali diabaikan orang. Beberapa pengunjung tampak memakai pakaian ala tempo dulu, pakaian pribumi saat masa penjajahan. Beberapa memakai pakaian ala bangsa kolonial, lengkap dengan topi dan senjata. Ada juga yang memakai sepeda ontel, beriringan sambil membunyikan bel sepeda yang berbunyi “kring kriing”, memaksa pengunjung di hadapannya untuk menyingkir. Namun, yang lebih menarik perhatian saya adalah beberapa pengunjung yang mencampuradukkan gaya berpakaiannya. Saya sendiri tidak mengikuti konsep festival ini. Saya memakai jumper, celana jeans belel, dan memakai ransel. Teman-teman saya pun (kami berenam, saya, Mbak Has, Mas Wiwid, Eko Febri, dan Edi) tak jauh beda. Eko memakai kemeja batik, celana selutut, sepatu trekking, dan bertopi kupluk. Bayangkan saja. Saya sendiri menganggapnya sungguh aneh. Febri bahkan memakai kemeja bermotif pantai, lengkap dengan pohon kelapanya (saya bilang itu baju Hawaii), memakai helm ORAD, dan ransel yang isinya menggelembung. Eksentrik. Pemandangan ini hanya ada di kelompok kami.
Pemandangan lainnya membuat mata saya melotot. Betapa tidak, gadis-gadis dengan santainya memakai atasan jaman dulu dan bawahan masa kini, hot pants (celana kekurangan bahan jauh di atas lutut), dan high heels bertali. “Nggak dingin apa?” pikir saya sambil berkerut kening. Saat kami nongkrong di kedai Ria Jenaka, pemandangan ini menjadi bahan candaan di antara kami. Seperti biasanya, mata kami menyapu segala arah. Cuci mata. Yang laki-laki melihat-lihat perempuan, yang perempuan melihat-lihat laki-laki. “Coba pakaianmu kayak gitu tuh”, kata Mas Wid sambil matanya mengarah ke belakang saya. Saya berbalik. Wooaa, mengerjap-ngerjap beberapa detik lamanya, lalu berbalik lagi. Perempuan itu duduk membelakangi saya, memakai atasan batik dengan belahan punggung lebar. Kontras dengan saya. Jelas. “Ni, kalo kamu pake kayak gitu gimana ya?, kata Mbak Has sambil tertawa-tawa. “Wah, pulang-pulang langsung minta dikerokin aku. Hahaha.” Sejenak terlintas di kepala saya tentang berpenampilan seperti itu. Amit-amit.
Banyak hal yang membuat saya tercengang di sini, di kerumunan ini. Disini saya melihat, seorang pengunjung laki-laki dengan santainya, sambil merangkul pasangannya, memotret seorang bapak pengemis. Ya, hanya memotretnya. Sambil berlalu tanpa bersedekah sedikitpun. Memotret tepat di hadapan bapak itu. Miris hati saya. Festival ini, memang, selain mengundang banyak pengunjung, juga beragam pengemis. Peristiwa ini tak bisa lepas dari ingatan saya sampai detik ini.
Melewati kontes band lawas, penyanyinya seorang bapak-bapak. Lagu yang dinyanyikan adalah “Bunga di Tepi Jalan”. Aransemen yang bagus sekali. Enak di telinga. Yang tidak mengeenakkan malah penciuman saya. Tempat ini bau. Bau makanan bercampur bau keringat orang-orang.
Saat nongkrong di Ria Jenaka tadi, saya melihat keluar dan mendapati sepasang pengemis. Mungkin ibu dan anak. Anaknya seumuran remaja, memegang gelas Coca Cola, sedang meminta-minta pada seorang bapak penjual jagung. Degg! Sekali lagi membuat miris. Jualan bapak itu bahkan masih banyak. Entah apa yang ada di pikiran pengemis itu.
Jalan lagi, melewati counter Bung Karno. Ramai sekali di dalam. Saya masuk dan melihat seorang anak lelaki kecil memakai pakaian adat Jawa sedang dipotret bapaknya. Ibunya menjadi penata gaya, mengatur-atur gaya yang cocok untuk anaknya. Bocah itu, dengan tampang polong (polos bengong), bergaya sesuka hatinya. Wajah bengong ogah-ogahan, tangan bersidekap di dada. Belum juga bapaknya berkata satu, dua, tiga sampai selesai, dia mengangkat tangannya lagi. Kali ini tangannya berpangku dagu, mirip gaya chibi-chibi ala Cherrybelle. Saya tertawa sambil lalu. Ternyata ibunya melihat, dengan kesal berkata pada anaknya, “Tuh, masnya ketawa lihat kamu. Ayo, yang bener!” Waduh, untuk kesekian dan kesekian kalinya saya dipanggil mas. Se-mas-mas itukah saya? Amit-amit sekali lagi. Saya tidak tahan di ruangan ini. Penuh sesak dengan orang-orang yang berfoto-foto ria. Sekilas saya membaca tulisan di samping foto-foto Bung Karno, tapi tidak bisa memahami. Tidak di keramaian ini. Saya keluar, ada Ms Wid. Saya menoleh, melihat counter itu di belakang saya. Saya ragu, apa orang-orang di dalam itu memahami tempat yang mereka masuki. Entah, ini hanya pikiran saya saja.
Banyak pencari perhatian disini. Laki-laki maupun perempuan melepaskan ekspresinya. Saya sedang menempatkan diri saya sebagai penonton. Melihat, mengamati, menganalisis, dan menarik kesimpulan. Orang-orang ini tontonan yang menarik. Kalaupun ada yang tidak menarik, saya cukup membuang muka, tidak perlu melihat. Betapa tempat ini penuh sesak. Semuanya terlihat jelas. Ketimpangan sosial, konsumtif-nya masyarakat, vulgarisme, dan hedonisme. Canda tawa, teriakan, tarian, nyanyian, obrolan, rangkulan, semuanya. Inilah masyarakat. Inilah kita.
Pintu keluar serupa gapura mulai terlihat jauh di depan. Kantuk melanda saya sejak tadi. Lelah rasanya badan ini. Beberapa orang di depan saya terlihat merenggangkan badan dengan cara mengangkat kedua lengan tinggi-tinggi di atas kepala. Saya melakukan hal serupa sambil menguap lebar-lebar. Saatnya pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar